Tanggal Kajian : 18 November 2014
Pemateri :
Dimas Bagus Laksono
Moderator : Ardiansyah Fadli
Sumber : muhammadiyahstudies.blogspot.com
Apa yang salah dengan fatwa haram yang
dikeluarkan Muhammadiyah berkaitan dengan merokok? Adanya donasi yang diberikan
Yayasan Michael Bloomberg membuat orang bertanya apakah fatwa itu murni untuk
kebaikan umat ataukah ada pesanan dari pemberi donasi.
Pihak Muhammadiyah mengaku menerima donasi Rp 3,7 miliar dari Yayasan Michael
Booolberg untuk kampanye antirokok di Indonesia. Namun mereka menyangkal bahwa
penetapan fatwa rokok didasarkan oleh pemberian donasi tersebut.
Penyangkalan memang bisa saja disampaikan, namun sulit untuk menerima bahwa
tidak ada hubungan antara pemberian donasi dengan penetapan fatwa. Apalagi
donasi dari Yayasan Michael Bloomberg secara khusus ditujukan bagi kampanye
antirokok di Indonesia.
Ini tentunya pelajaran berharga bagi Muhammadiyah. Sebagai organisasi
masyarakat berbasis keagamaan betapa pentingnya arti sebuah kepercayaan.
Apalagi ketika hendak mengeluarkan sebuah aturan yang berkaitan dengan
kehidupan masyarakat banyak.
Dalam konteks Indonesia, isu rokok tidak bisa dilihat secara sederhana. Sebab
ini berkaitan dengan kehidupan begitu banyak petani tembakau dan masyarakat
yang bekerja di industri rokok.
Memang ada faktor kesehatan yang harus diperhatikan dan biaya kesehatan yang
begitu mahal harus kita keluarkan untuk menangani penyakit akibat
merokok, apabila pembatasan tidak dilakukan. Namun penyelesaian persoalan tidak
boleh dilakukan dengan menimbulkan persoalan yang baru.
Dalam konteks inilah maka penyelesaian persoalan rokok harus dilakukan secara
lebih komprehensif. Terutama pemerintah harus memikirkan terlebih dahulu petani
tembakau yang jumlahnya besar. Sebab bertani tembakau merupakan kegiatan yang
sudah berlangsung turun temurun dan kebanyakan lahan yang mereka miliki hanya
cocok untuk tanaman tembakau.
Bisa saja memang dicarikan alternatif tanaman yang bisa memberikan pendapatan
seperti halnya tembakau. Namun itu tidak bisa sekali jadi. Kalau pun ditemukan
tanaman yang bisa memberikan pendapatan yang minimal sama dengan tembakau,
pemerintah harus mengajari petani untuk mengganti tanamannya tersebut.
Proses pergantian tanaman membutuhkan waktu sedikitnya tiga tahun. Sepanjang
waktu itu pemerintah bukan hanya berkewajiban untuk mendampingi, tetapi
memberikan kompensasi atas pendapatannya yang hilang akibat berhenti menanam
tembakau.
Mengapa pemerintah harus bertanggung jawab? Pertama, karena pergantian tanaman
bukanlah keinginan petani. Kedua, pemerintah tidak bisa membiarkan para petani
tembakau kehilangan mata pencaharian, karena kalau itu yang terjadi akan
menimbulkan ledakan pengangguran yang tinggi.
Itu belum kita memikirkan nasib jutaan pekerja yang hidup di industri rokok.
Para pemilik industri rokok bisa menggantikan tenaga kerja manusia dengan
mesin. Mereka pasti bisa bertahan dengan menggeser produknya ke pasar
internasional. Namun terutama buruh rokok merupakan orang-orang dengan
keterampilan yang terbatas dan tidak mudah bagi mereka untuk mendapatkan
pekerjaan baru.
Aspek sosial inilah yang harus menjadi perhatian kita saat hendak menangani
persoalan rokok. Kita tidak bisa hanya ikut kampanye global antirokok, tanpa
harus memahami persoalan mendasar yang dihadapi bangsa ini.
Kita harus akui gerakan global antirokok berlangsung luar biasa. Jutaan dollar
dana disediakan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat agar paham akan bahaya
merokok. Mereka mempunyai kemampuan untuk menembus kelompok-kelompok masyarakat
yang dinilai bisa mendukung keberhasilan mereka.
Namun sekali lagi, penyelesaian persoalan Indonesia dengan menggunakan kaca
mata global akan menyesatkan. Sekarang ini kita mulai melihat perlawanan dari
daerah, khususnya dari para petani tembakau. Mereka tidak tinggal diam saat
masa depan mereka diganggu.
Lalu bagaimana mencari cara penyelesaian yang terbaik? Tidak bisa lain kecuali
mengundang semua pemangku kepentingan (stakeholders) untuk mencarikan solusi
yang bersama. Para pemangku kepentingan itu mulai dari pemerintah yang terdiri
dari Kementerian Kesehatan, Perindustrian, Pertanian, dan Keuangan, kelompok
masyarakat antirokok, petani tembakau, buruh pabrik, dan industri rokok.
Pertemuan para pemangku kepentingan akan memutuskan seperti apa kita akan
menangani isu rokok. Kalau akan akan pembatasan peredaran rokok seperti apa
penjadwalannya. Pada masa itu bagaimana kemudian kita mengeliminir dampak
negatif dalam penerapan kesepakatan tersebut.
Pemaksaan kehendak jelas bukan solusi terbaik. Hal itu justru akan membuat
semua pihak mengambil ancang-ancang untuk berseberangan dan akhirnya
hanya sekadar saling serang. Di tengah situasi masyarakat yang sedang cair, itu
hanya akan menimbulkan persoalan sosial yang baru.